I. KEMEROSOTAN EKONOMI NASIONAL: 1. Pertumbuhan Ekonomi Merosot: Indonesia dibawah Rezim Jokowi terus mengalami kemerosotan. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Triwulan I-2015 hanya 4,71 %, merosot dibandingkan pertumbuhan yang sama tahun yang sama sebesar 5,14 %. Pertumbuhan ekonomi 4,71 % merupakan pertumbuhan ekonomi terendah sejak tahun 2009. Di lain fihak, tercatat 20 Mei 2015, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengakui, realisasi penerimaan mencapai Rp.502,7 triliun atau 28,5 % dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2015. Sementara, realisasi belanja Negara tercatat Rp. 548,7 triliun. Anggaran Negara mengalami defisit sebesar Rp. 46 triliun! Perdagangan antarpulau ikut terkena dampak dari kemerosotan ekonomi nasional ini. Menurut Kompas, 28 Mei 2015, pada Triwulan I-2015, komoditas perdagangan antarpulau seperti semen, pupuk, gula dan barang elektronik/kenderaan di Pelabuhan Sunda Kelapa Jakarta menurun apabila dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Kelesuan ekonomi dan perubahan harga bahan bakar minyak dianggap menjadi penyebabnya. Di Pelabuhan Sunda Kelapa Jakarta dari puluhan kapal layar motor (KLM) hanya dua sampai tiga kapal yang bersandar di dermaga pelabuhan yang mengirim banrang ke wilayah Nusantara tersebut. Bahkan, sejumlah kapal telah bersandar lebih dari sebulan. Aktivitas buruh angkut pun minim. Data PT. Pelabuhan Indonesia II Cabang Sunda Kelapa menunjukkan penurunan pengiriman komoditas antarpulau untuk KLM dan kapal motor. Pengiriman semen pada triwulan pertama tahun ini 369.509 ton semen. Padahal, pada periode yang sama tahun lalu, pengiriman mencapai 447.278 ton semen. Adapun pengiriman terigu menurun dari 7.532 ton pada Triwulan I-2014 mencapai 6.999 pada Triwulan Pertama tahun ini. Di lain fihak, kegiatan bongkar muat di Pelabuhan Sunda Kelapa ini merosot hingga 60 %. Para buruh mengalami penurunan upah karena tidak ada aktivitas bongkar muat barang. Kualitas pertumbuhan menurun juga dilaporkan oleh Enny Sri Hartati, Direktur Eksekutif Indef dalam tulisannya "Mengembalikan Kredibilitas Pemerintah" (Media Indonesia, 15 Juni 2015). Berdasarkan hasil penelitian Indef, ditunjukkan beberapa kesimpulan. Pertama, kualitas pertumbuhan menurun, terlihat semakin gagalnya harapan terjadinya transformasi struktur ekonomi ini. Pertumbuhan sektor tradable justru merosot cukup tajam. Sektor jasa masih tumbuh tinggi, terutama jasa informasi dan komunikasi (10,53 %) serta jasa keuangan dan asuransi (7,57 %). Padahal sektor-sektor tersebut relatif kedap dalam menyerap tenaga kerja, khususnya tenaga kerja formal. Sementara itu, industri yang mempunyai kontribusi sekitar 23,7% terhadap GDP, hanya mampu tumbuh 3,87 %. Kedua, penurunan investasi dan indeks tendensi bisnis. Pertumbuhan investasi masih tetap melambat dari 20,22 % (yoy) pada triwulan I 2014 menjadi 10,16 % pada triwulan I 2015. Bahkan porsi investasi terhadap GDP turun dari 33,46 % pada triwulan IV 2014 menjadi 31,94 % pada triwulan I 2015. Ketiga, indeks tendensi bisnis (ITB) yang merupakan refleksi persepsi pelaku usaha terhadap prosfek ekonomi pada triwulan I 2015 anjlok menjadi 96,30. Padahal para triwulan IV 2014 masih berada pada level 104,07. Turunnya ITB itu disebabkan turunnya indeks pendapatan usaha (95,06), indeks penggunaan kapasitas produksi (95,13), dan indeks rata-rata jam kerja (97,83). Keempat, neraca perdagangan selama lima bulan terakhir memang telah mengalami perbaikan. Sayangnya, surplus neraca perdagangan bukan karena ditopang membaiknya kinerja ekspor, melainkan tertolong oleh turun drastisnya impor. Pada Januari-April 2015, ekspor turun 11,01 % dan impor turun hingga 17,03%. 2. Nilai Ekspor Merosot: Rendahnya pertumbuhan ekonomi Indonesia juga dibarengi dengan kemerosotan nilai ekspor Indonesia ke Negara lain. Nilai ekspor pada Januari-Maret 2015 hanya mencapai US$ 39,13 Miliyar atau turun 11, 67 % dibandingkan dengan ekspor periode yang sama tahun 2014. Juga ekspor nonmigas mencapai US $ 33,43 Miliyar, atau turun 8,23 %. Harga-harga komoditas ekspor merosot, seperti minyak sawit mentah (CPO) dan karet merosot. 3. Peningkatan Nilai Impor: Dalam situasi kemesosotan pertumbuhan ekonomi dan nilai ekspor, terjadi pula peningkatan nilai impor. Nilai impor Maret 2015 sebesar US$ 12,58 Miliyar, meningkat 9,29 % dibandingkan dengan impor bulan Februari 2015 dan 13,39 % jika dibandingkan dengan impor Maret 2014. 4. Peningkatan Impor Migas: Juga terjadi peningkatan impor Migas. Impor Migas Maret 2015 sebesar US$ 2,27 Miliyar, menaik 31,89% dibandingkan dengan Februari 2015 (US$ 1,72 Miliyar). 5. Nilai Tukar Petani Merosot: Nilai tukar Petani (NTP) pada April 2015 merosot 1,37 % dibandingkan pada Maret 2015. Pembangunan pertanian belum terdengar realisasinya. 6. Inflasi Menaik dan Rupiah Terjun Bebas: Menurut Gubernur BI Agus Martowardojo (27 Mei 2015), inflasi di Tanah Air sepanjang kuartal satu tahun 2015 ini mencapai 6,39 % dibanding tahun lalu (year on year) dan meningkat menjadi 6,79 % (yoy) pada April lalu. Artinya, inflasi pada April 2015 menaik sebesar 0,40 %.Inflasi Indonesia masih tertinggi di antara negara-negara Asia Tenggara yang laju kenaikan harganya jauh di bawah 5 %. Filipina, inflasinya 2,29%, Malaaysia 0,9%, Singapura deflasi 0,3 %, dan Thailand deflasi 1 %. Sementara itu, Rupiah terjun bebas dari Rp. 10.000 di akhir Juli 2014 ketika Jokowi-Jk ditetapkan sebagai pemenang Pilpres 2014 dan sekarang telah mencapai melewati Rp. 13.000 per US Dollar.Menurut Gubernur BI, Indonesia menghadapi enam tantangan struktural pengendalian inflasi. Pertama, terbatasnya kapasitas produksi pangan strategis. Hal ini terjadi karena luas lahan pertanian menyusut berganti dengan permukiman dan kawasan industri. Kedua, nilai rupiah masih rentan karena bahan baku manufaktur Indonesia masih bergantung pada barang impor. Ketiga, produksi pangan juga masih rentan terhadap iklim sehingga pasokan kerap terganggu. Keempat, Indonesia masih bergantung pada impor bahan bakar minyak. Kelima, konektivitas antardaerah, terutama antarpulau, masih lemah sehingga menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Keenam, rantai distribusi pangan di Indonesia maih panjang dan dikuasai segelintir pelaku saja sehingga selalu ada oligopoli dan monopoli. Bukan petani yang menikmati harga pangan, melainkan para pemain tersebut. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun dan nilai tukar rupiah melemah. IHSG bias menjadi indicator gairah investor di pasar modal. Adapun nilai tukar rupiah bias menjadi cermin kekuatan di pasar keuangan valuta asing. Pada penutupan perdagangan selasa 25 Agustus 2015, IHSG ditutup pada posisi 4.228,501 atau meningkat 1,556 persen. Namun, sejak awal 2015, IHSG masih turun 19,1 persen. Rupiah pun demikian. Kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), menunjukkan bahwa rupiah masih melemah, menjadi Rp. 14.067 per dollar AS. Sejak awal 2015, rupiah sudah melemah 13,4 persen. Rontoknya harga saham merupakan indicator berkurangnya kepercayaan investor terhadap perekonomian Indonesia. Investor menjual asset dalam bentuk portfolio di Indonesia tidak saja karena ingin mengkonversinya ke asset berdenominasi dollar AS, tetapi juga karena melihat arah pembalikan pertumbuhan ekonomi masih lambat, yakni pada Triwulan I- 2015 sebesar 4,72 persen melambat menjdai 4,67 persen pada tribulan II -2015. Kompas 26 Agustus 2015 melaporkan, keterburukan nilai tukar rupiah terhadap Doillar AS mulai dirasakan kalangan pelaku industri manufaktur. Mereka bukan hanya dihantui penurunan harga jual, tergerusnya pasar, melainkan juga membengkaknya biaya produksi akibat melonjaknya harga bahan baku impor. Pengusaha berusaha bertahan dengan mengurantgi kapasitas produksi dan jam kerja untuk menekan biaya produksi. Di sisi lain, kalangan pekerja mulai resah karena khawatir menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK) jika situasi bisnis tidak kondusif. Pelemahan rupiah juga dialami pelaku industri manufaktur di Jawa Timur. Sekitar 60 % dari 34.000 perusahaan di Jawa Timur bergantung pada bahan baku impor. Upaya yang bias mereka lakukan adalah melakukan efsiens dengan cara mengunrangi jam kerja atau pekerja. Industri paling terpengaruh adalah industry loganm dan plastic karena 50 persen bahan bakunya harus diimpor. Berdasarkan data BPS Jatim, impor komoditas besi/baja dan plastic menurun dibandingkan tahun lalu. Semester I 2015, impor besi dan baja 754 juta dollar AS, turun dibandingkan tahun lalu yang 964 juta dollar AS. Impor plastic turun dari 714 juta doillar AS tahun lalu menjdai 619 juta dollar AS di Semester I 2015. Data ini indiaksi melambatnya laju produksi industry. Dari Bandung dilaporkan, pelaku industri tekstil melakukan berbagai cara untuk mempertahanikan industrinya. Salah satunya menurunkan kapasitas produksi dan mengurangi jam kerja agar tidak terjadi PHK, dan jam lembur ditiadakan. 7. Cadangan Devisa Merosot: Posisi cadangan devisa merosot dibandingkan dengan posisi akhir Februari 2015 sebesar 115,5 Miliyar Dollar AS. Merosotnya posisi cadangan devisa tersebut akibat peningkatan pengeluaran untuk pembayaran utang luar negeri Pemerintah dan dalam rangka stabilitas nilai tukar rupiah. 8. Penerimaan Pajak Merosot: Penerimaan pajak sampai pada Maret 2015 dibandingkan yang sama Maret 2014 merosot hingga Rp. 50 triliun. Menurut Pengamat Ekonomi Didik J.Rachbini (Koran Sindo, 1 November 2015, realisasi penerimaan pajak tahun ini baru mencapai 58,59 % atau Rp. 758 triliun dari terget Rp. 1.294,2 triliun per 29 Oktober 2015. Seretnya penerimaan pajak tidak diimbangi dengan efisiensi belanja yang dilakukan Pemerintah. Dia mengatakan, Pemrintah saat ini terus mendorong pembangunan berbagai proyek secara besar-besaran. "Dalam kondisi penerimaan yang sulit, mestinya jangan terlalu ekspansif. Proyek-proyek yang ada harus diseleksi. 9. Hutang Bertambah Di bawah Rezim Jokowi hutang Indonesia bertambah Rp. 250 triliun. Rasio utang Indonesia tidak aman. Posisi utang luar negeri (ULN) Indonesia menembus angka US$ 299,8 miliar atau mengalai kenaikan 7,8 persen pada April 2015 (Liputan6.com) . Kondisi utang tersebut sudah sangat mengkhawatirkan dari sisi Debt Service Ratio (DSR), yaitu rasio totalpembayaran pokok dan Bungan ULN relatif terhadap total penerimaan transaksi berjalan. Dirktur Eksekutif Core Indonesia, Hendri Saparini ( 28 Juli 2015) menegaskan bahwa CSR utang luar negeri Indonesia sudah mencapai lebih dari 50 persen. DSR sudah di atas 50 persen.bukan berarti aman. 10. Semua Kebutuhan Dasar Rakyat Menaik: Di bawah Rezim Jokowi semua kebutuhan sembako menaik naik. Harga BBM menaik. Harga beras menaik. Harga gas menaik. Tarif kereta api menaik. Jalan tol dikenakan pajak. Impor beras dan gula semakin mantap. Daya beli rakyat menurun, biaya hidup menaik mengikuti kenaikan harga BBM. 11. Kinerja Merosot: Kinerja ekonomi pemerintah Jokowi merosot karena semua indikator menunjukkan demikian. Berdasarkan hasil Survei Litbang Kompas, 7-15 April terhadap 1.200 responden, hanya 25,4 % responden yang puas terhadap kinerja Pemerintah Jokowi di bidang ekonomi. Sebanyak 65 % responden menilai keadaan ekonomi nasional saat ini dalam kondisi buruk. 12. Tidak Memiliki Kemampuan: Jokowi sebagai Presiden RI tidak memiliki kemampuan untuk mengelola ekonomi nasional, menciptakan kemandirian ekonomi dan mewujudkan bangsa yang berdaya saing. II. KEMEROSOTAN KEHIDUPAN POLITIK: 1. Perpecahan Parpol: Perpecahan parpol, khususnya PPP dan Golkar, sesungguhnya akibat intervensi Rezim Jokowi-Jk melalui Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly. Partai Golkar dan PPP menjadi korban dari intervensi Rezim Jokowi. Jokowi seharusnya bertanggungjawab untuk membangun tatanan politik yang sehat, dan politik kepartaian yang stabil tanpa perpecahan. Sejatinya, dengan perpecahan parpol di Indonesia, hal itu sama saja kegagalan Jokowi sendiri menjadi kepala pemerintahan. Namun, Jokowi melakukan politik pembiaran atas perpecahan Parpol. Jokowi gagal membangun politik kepartauan. 2. Demokrasi Tanpa Oposisi: Rezim Jokowi-JK mengehendaki tidak aka kekuatan oposisi di Parlemen/DPR. Semua kekuatan politik harus berkoalisi dengan Parpol-Parpol pengusung Rezim. Intevensi Rezim dalam konflik internal dan perpecahan PPP dan Golkar agar tidak menjadi Parpol oposisi, tetapi koalisi terhadap Rezim. Karena itu,dari ukuran pentingnya oposisi dalam demokrasi, Rezim Jokowi-JK tergolong anti-demokrasi, bukan pro demokrasi. 3. Perombakan Kabinet Pada 12 Agustus 2015 Jokowi melakukan perombakan Kabinet, mengangkat wajah-wajah baru di Kabinet, yaitu Darmin Nasution (Menko Bidang Perekonomian), Luhut Binsar Panjaitan (Menko Bidang Polhukam), Rizal Ramli (Menko Bidang Kemaritiman), Thomas Trikasih Lembong (Menteri Perdagangan) dan Pramono Anung Wibowo (Sekretaris Kabinet). Dilaporkan Kompas 24 Agustus 2015, Jajak Pendapat “Kompas” 19-21 Agustus 2015 dengan 519 responden via telepon, menunjukkan bahwa secara keseluruhan, bagian publik yang menyatakan “tidak puas” dengan hasil perombakan Kabinet Kerja (43,4 persen) “lebih besar” daripada yang merasa puas (32,9 persen). Hal ini antara lain karena tidak terpenuhinya harapan publik terkait dengan penggantian sejumlah Menteri yang kinerjanya selama ini dinilai kurang memuaskan. Apa faktor pertimbangan perombakan Kabinet? Sebagian besar responden (63,6 persen) menunjukkan faktor pertimbangan kinerja menteri buruk, menyusul mengubah komposisis orang parpol di Kabinet (12,7 persen), tersangkut kasus (7,7 persen), 6,6 persen masalah moralitas/perilaku, sisanya tidak tahu dan lainnya. Sementara itu, persoalan utama yang harus segera diselaikan Pemerintah adalah kenaikan harga berbagai bahan kebutuhan pokok (40,8 persen), diikuti melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS (30,3 persen), penegakan hukum dan penangan korupsi (8,8 persen), ketersediaan bahan pangan (7,5 persen), menurunnya impor berbagai produk (4 persen), dan lainnya (8,6 persen). 4. Politik Gaduh: Jokowi pernah berucap, tidak mungkin ekonomi kita maju kalau politik kita terus gaduh. Namun, faktanya, kegaduhan-kegaduhan justru ditimbulkan oleh beberapa individu dalam pemerintah sendiri. Banyak kegaduhan tak perlu. Ketenangan politik akan terwujud kalau demokrasi dihormati dan dijalankan. Kegaduhan politik belum berlalu dari kehidupan demokrasi di Indonesia. Hingga 325 hari Rezim Jokowi berkuasa, lebih dari separuh perjalanannya diwarnai kegaduhan politik. Mulai dari kisruh KPK – Polri, tumpang tindih pemberantasan korupsi, hingga komunikasi antar pejabat negara yang dinilai buruk. Dampak kegaduhan politik pun semakin melebar. Bahkan sektor ekonomi pun terkena imbasnya. Terakhir, Rizal Ramli (RR) member pernyataan menolak ide Wapres terkait pembangunan 35 ribu megawatt pembangkit listrik. Atas pernyataan ini, Juru Bicara Wapres Jusuf Kala menilai, RR telah membuat gaduh suasana politik. Sebaliknya, RR menolak dianggap sebagai biang kegaduhan di tubuh kabinet. Dia balik menuding pihak yang menuduhnya punya kepentingan terhadap proyek-proyek yang dikritiknya. “Tokoh-tokoh yang otoriter menganggap ini gangguan terhadap kepentingan mereka,” kata Rizal. “Kalau tak punya kepentingan, pasti senang dengan langkah saya.” RR mengatakan perbedaan pendapat, apalagi disertai solusi, adalah hal biasa. Dia juga menegaskan, semua kritiknya telah disampaikan secara terbuka dalam rapat-rapat kabinet. III. KEMOROSOTAN KEHIDUPAN SOSIAL: 1. Janji Buka 10 Juta Lapangan Kerja: Jokowi berjanji dalam Pilpres 2014 untuk membuka 10 juta lapangan pekerjaan selama lima tahun ke depan. Bagaimana kemajuan janji Jokowi itu? Selama satu tahun sedikitnya 2 Juta lapangan kerja baru. Selama enam bulan Rezim Jokowi berkuasa, sudah ada 1 juta lapangan kerja baru. Apakah itu terealisasi ? Hingga 7 bulan berkuasa Rezim Jokowi, masih sebatas retorik atau “ngomong doang”. Bahkan, kini telah bertambah 300.000 penganggur baru. Kepala BPS Suryamin mengatakan jumlah pengangguran pada Februari 2015 mengalami peningkatan dibandingkan dengan Agustus 2014 sebanyak 210 ribu jiwa. Sementara jika dibandingkan dengan Februari tahun lalu bertambah 300 ribu jiwa. Jumlah pengangguran pada Februari 2015 mencapai 7,4 juta orang. Pelemahan ekonomi terjadi pada kuartal I tahun 2015 berdampak buruk pada para pekerja. Ratusan ribu pekerja harus menanggung nasib pahit karena mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK).Kondisi tersebut di antaranya dialami pekerja tambang, tekstil, alas kakai, dan ritel. Ketua Umum Asosiasi Pertambangan Indonesia (APBI) Pandu Sjahrir menungkapkan, setidaknya 40 persen dari pekerja pertambangan terpaksa diputus kontrak kerjanya. Artinya, dari 350 ribu pekerja di seluruh Indonesia terdapat 100 hingga 150 ribu karyawan tambang yang terpaksa putus kontrak (Harian REPUBLIKA, 1 Juni 2015). Kondisi para pekerja terpaksa diPHK, juga berlaku pada sejumlah perusahaan di kawasan industri Batam, Kepulauan Riau. Yakni memutuskan untuk menutup pabriknya dan hengkang dari Indonesia. Ketua Umum Himpunan Kawasan Industri Seluruh Indonesia, Sanny Iskandar, menjeloaskan, rata-rata perusahaan itu bergerak pada sektor "labour intensive industry" atau industri padat karya. Perusahaan-perusahaan itu merelokasi pabriknya ke Vietnam dan Myanmar. Kedua negara itu, dianggap memberikan dukungan investasi yang baik, kondusif, dan menguntungkan. Perusahaan yang pindah, sebagian besar mengeluhkan soal birokrasi perizinan dan gangguan keamanan di Indonesia (Harian REPUBLIKA, 4 Juli 2015). 2. Janji Pengurangan Kesenjangan Sosial: Jokowi saat Pilpres 2014 berjanji akan melakukan pengurangan kesenjangan social, yang diukur dengan “gini ratio” 0,30. Angka ini ternyata telah dirubah ke dalam Rencana Jangka Panjang dan Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 menjadi 0,36. Jokowi telah ingkar janji sejak dari perencanaan pembangunan. Padahal, janji adalah utang, yang dalam keyakinan agama Islam, harus dilunasi. Bahkan, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) menuding pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla mengabaikan kesejahteraan masyarakat pribumi. Rezim Jokowi-JK dianggap lebih mementingkan kebutuhan kelompok asing. Bahkan,Pemerintah mengaku,jumlah penduduk miskin akan semakin banyak (Republika, 17 September 2015).Berdasarkan data BPS,penduduk miskin menjadi 28,59 juta orang. Penyebab meningkatnya angkakemiskinan,menurut5 Menko Perekonomian,Darwin Nasution, karena jartuhnya harga komoditas bakibat melambatnya ekonomi global.Banyak masyarakat yang menanam karet, kelapa sawit,kopi, dan komoditas lainnya akhirnya tergerus pendapatannya akibat harga komoditas jatuh. Faktor penting lainnya adalah harga pangan. Darwin mengakui harga pangan , terutama beras, cenderung meningkat.Menurut data BPS, harga beras memang menjadi penyumbang utama meningkatnya angka kemiskinan. Pendapatan masyarakat turun,harga pangan tidak turun. Dalam laporan Perekonomian Indonesia 2015 oleh BPS, awal September 2015, disebutkan bahwa ekonomi di luar Jawab tumbuh melambat sebagai penurunan nilai ekspor komoditas bahan tambang dan pemberlakuan UU Minerba. Sementara untuk Jawa, yang masih ditopang ekspor manufaktur,belum pulih karena permintaan global yang lesu. Pelambatan ekonomi di Jawa sangat mempengaruhi perekonomian nasional.Ini karena pangsa ekonomi Jawa terhadap nasional lebih dari 50 persen. Apa yang membuat ekonomi di Jawa melambat? Dari hasil kajian BPS,tercatat menurunnya kinerja usaha pertanian dan bangunan.Pertanian,produksi padi mengalami penurunan akibat banjir.Sementara sektor konstruksi lesu karena lemahnya investasi dan terbatasnya pembangunan infrastruktur. 3. Janji Bangun Sejuta Rumah: Rezim Jokowi-Jk berjanji untuk membangun sejuta rumah, terdiri atas 603.516 unit rumah (60%) untuk MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah). Harga patokan penjualan rumah MBR maksimal Rp. 88 juta per unit. Sisanya sebanyak 396.484 unit rumah (40%) untuk kalangan menengah atas (Non MBR). Sebanyak 331.693 unit rumah akan dibangun pada tahap pertama, yakni di Nias Utara, Banyuasin, Jakarta barat, Tanggerang, Cirebon, Semarang, Malang, Kotawaringin Timur, dan Bantaeng. Perumahan itu diperuntukkan bagi pegawai negeri, masyarakat umum, buruh dan nelayan. Dari total rumah dibangun tahap pertama tersebut, 94.426 unit merupakan rumah tapak, 6.421 unit rumah susuan sederaha milik (Rusunami) dan 288 unit rumah susun sewa (Rusunawa). Proyek pembangunan sejuta rumah yang dicanangkan Rezim Jokowi-JK ini sangat berbeda dengan Proyek Rumah Murah untuk MBR (harga maksimal Rp. 30 juta per unit) yang pernah dicanangkan oleh Rezim SBY-Boediono, tetapi mengalami kegagalan. Proyek Rezim Jokowi-JK ini diperkirakan juga akan mengalami kegagalan, dan hingga Mei 2015 belum ada realisasainya. Hanya baru sekedar wacana atau janji belaka! Mengapa? Kalau sejuta rumah diperkirakan akan dibangun selama lima tahun, rata-rata 200 ribu per tahun. Kini Rezim Jokowi-JK telah berlangsung tujuh bulan, tentunya sudah harus melebihi 100 ribu rumah. Tapi, dalam kenyataannya satu unit rumah pun belum terbangun, terutama untuk MBR. 3. Aksi Demo Masyarakat Madani Dalam kondisi keuangan dan ekonomi Indonesia merosot, terjadi pula peningkatan aksi demo mengkritik dan menuntut Rezim Jokowi-JK dari kalangan buruh,mahasiswa, LSM,Ormas, dan komponen masyarakat madani lainnya. Salah satunya aksi buruh turun ke jalan di 20 Kota, 1 Sebtember 2015, atas nama Gerakan Buruh Indonesia (GBI). Sekitar 20 ribu buruh turun ke jalanandengan berbagai tuntutan sebagai berikut: a. Mendesak Pemerintah Jokowi-JK melakukan aksi nyata untuk memperbaiki perekonomian Indonesia. b. Mendesak Pemerintah untuk menurunkan harga bahan pokok dan bahan bakar minyak(BBM). c.Menolak PHK yang disebabkan pelemahan rupiah. d.Menolak rencana Pemerintah untuk memudahkan tenaga kerja asing masuk ke Indonesia melalui kebijakan yang tidak mewajibkan mereka bisa berbahasa Indonesia. e. Menuntut upah minimum 2016 dinaikkan 22 persen serta kebutuhan hidup layak sebagai landasan perhitungan upah minimum mencantumkan 84 butir. f.Mendesak Pemerintah merevisi Peraturaan Pemerintah tentang Jaminan Pensiun sehingga manfaat pensiun yang diterima pekerja sama dengan pegawai negeri sipil (PNS) bukan Rp.300 ribu per bulan setelah bekerja 15 tahun. g.Mendesak BPJS memperbaiki pelayanan dan menghapuskan system INA CBGs dan peraturan Menteri Kesehatan No.59 Tahun 2014 yang membuat tariff untuk rumah sakit menjadi murah. h.Mendesak agar pengadilan hubungan industrial (PHI) dibubarkan dengan merevisi UU No.2 tahun 2004. PHI dipandang hanya jadi kuburan bagi buruh.(Muchtar Effendi Harahap/NSEAS). 4.Tidak Memiliki Kemampuan: Jokowi sebagai Presiden RI tidak memiliki kemampuan untuk menghadirkan kembali Negara untuk mewujudkan kualitas hidup manusia Indonesia yang tinggi, maju dan sejahtera. IV. JOKOWI INGKAR JANJI KAMPANYE PILPRES: 1. Kabinet Ramping: Jokowi berjanji akan membentuk Kabinet ramping dalam pemerintahannya. Maksud Kabinet Ramping tidak sekedar untuk memberikan pos-pos pada partai tertentu, bebas bagi-bagi kursi bagi Parpol pendukungya, bukan Kabinet transaksional, tanpa syarat. Dalam kenyataannya, Jokowi menetapkan struktur Kabinetnya tidak ramping dan dipenuhi kader Parpol. Susunan Kabinet sebanyak 34 Kementerian. Jumlah Kementerian ini sama dengan cabinet SBY-Boediono. Bahkan, hampir separuh kursi Menteri untuk kader Parpol Pengusung Jokowi-Jk. 2. Jaksa Agung Bukan Politikus Partai: Jokowi berjanji dan memastikan tidak akan memiliki Jaksa Agung dari Parpol, tetapi dari kalangan professional atau eksternal Kejaksaan Agung. Tapi, dalam kenyataannya, Jokowi menetapkan Jaksa Agung adalah Politikus dan kader Partai NasDem, dan mantan jakas Agung Muda, H.M.Prasetyo. Selain berasal dari Partai Politik, Prasetyo juga dinilai tidak memiliki prestasi signifikan selama menjabat Jaksa Agung Muda. 3. Mengalihkan Sumber Energi BBM ke Gas: Jokowi berjanji, untuk meminimalisir dengan mengalihkan sumber energy dari BBM ke gas karena Indonesia memiliki depot gas sehingga anggarannya jadi lebih murah. Tidak akan melakukan penghapusan subsidi BBM. Keinginan tidak menghapuskan untuk subsidi BBM tidak masalah, karena bagi rakyat kecil adalah sebuah keharusan dan kewajiban Negara. Namun, dalam kenyataannya, baru berumur beberapa hari, Rezim Jokowi telah menaikkan harga BBM. Padahal harga minyak dunia saat itu telah turun. Juga harga BBM naik-turun-naik. Bahkan, kebijakan Jokowi menaikkan harga BBM ini telah melanggar Konstitusi, UUD 1945. Adanya janji Jokowi tidak akan menaikkan harga BBM juga diungkapkan oleh Indro Tjahyono, Koordinator Forum Relawan Pemenangan Jokowi-JK dalam Pilpres 2014 (Sumber Website:RMOI). Menurut Indro, Jokowi mengingkari janjinya sendiri kalau menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Karena semasa kampanye, Jokowi berjanji tidak menghapus subsidi BBM. Janji untuk tidak menghapus subsidi BBM tersebut diucapkan Jokowi di depan anggota IPOI (Ikatan Persaudaraan Ojek Indonesia) tanggal 16 Juni 2014 di jalan Borobudur 18 Jakarta Pusat. 4.Tata Kelola Pemerintahan Bersih, Efektif, Demokratis, dan Terpercaya: Dalam Pilpres 2014, pasangan capres cawapres Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) mengusung visi 'Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong Royong'. Visi itu ditegaskan sebagai sebuah Jalan Perubahan Salah satunya berbunyi, “Kami akan membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya”. Jokowi berjanji akan mewujudkan pemerintahan yang bersih. Ketika menentukan calon pembantunya (Menteri) dalam Kabinet Kerja, Jokowi telah melibatkan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan PPATK (Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan. Namun, ketika mencalonkan Komjen Budi Gunawan sebagai calon kepala Polri, tidak melibatkan KPK dan PPATK. Nama Budi Gunawan disebut-sebut sebagai salah satu perwira yang memiliki rekening gendut. Majalah Tempo pada Juni 2010 lalu memuat laporan tentang rekening gendut polisi. Dalam laporan itu disebutkan kekayaan Budi Gunawan mencapai Rp 54 miliar. Meskipun akhirnya Komjen Budi Gunawan dinyatakan batal status tersangka oleh KPK setelah menang di sidang praperadilan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel), komitmen Jokowi mulai diragukan. Di lain fihak, sejumlah mahasiswa dan alumni Universitas Indonesia (UI) hari ini akan turun ke jalan. Diperkirakan ada 1.000 mahasiswa dan alumni UI yang akan hadir dalam rapat akbar gerakan antikorupsi nasional yang digelar di kampus UI Salemba, Jakarta Pusat.. Ketua Ikatan Alumni UI (Iluni), Chandra Motik menjelaskan, alasan Iluni turun ke jalan, karena prihatin dengan kondisi negara saat ini. "Kami bukan geram, kami kecewa. Jokowi ingkar janji. Dulu saat kampanye dia akan memberantas korupsi. Tapi kini KPK justru dilemahkan. Kami bergerak untuk melawan koruptor," kata dia. Jokowi, kata Chandra, gagal memenuhi janji-janjinya saat kampanye. "Tujuam kami hanya mengingatkan Jokowi. Makanya kami bergerak," ungkapnya. 5. Tidak Akan Berhutang: Pada saat kampanye Pilpresw 2014, Jokowi berjanji tidak akan berhutang dan tidak belanja berlebihan. “Pembekuan belanja, tidak perlu belanja terlalu over. Artinya uang yang ada ini dibelanjakan, uang yang ada saja yang dibelanjakan,” ungkapnya di Balai Kota DKI Jakarta, 19 Agustus 2014. Setelah terpilih di kampanye, Jokowi sapaan akrabnya kembali menegaskan janjinya tidak akan menambah utang. “Ya penggunaan APBN itu secara efisien dan tepat sasaran. Tidak perlu ngutang,” ujarnya kala itu, sebagaimana dikutip dari laman Merdeka Online (19/4/2015). Sedangkan untuk pembayaran utang yang semakin menumpuk, Jokowi menjawab dengan enteng. “Kalau utang ya dibayar.” Dalam kenyataannya, mengacu hasil analisis Merdeka Online (19/4/2015) utang luar negeri Indonesia bertambah mencapai Rp 3.940 triliun. Per Januari 2015, utang luar negeri Indonesia tercatat sebesar USD 298,6 miliar atau setara dengan Rp 3.940 triliun. Angka utang ini meroket jika dibandingkan posisi per Desember 2014 yang hanya USD 292,6 miliar atau setara dengan Rp 3.860 miliar. Angka utang ini terdiri dari utang luar negeri pemerintah bersama Bank Indonesia USD 135,7. Sedangkan utang luar negeri swasta sebesar USD 162,9 miliar. Khusus utang luar negeri Pemerintah Jokowi-Jk tembus mencapai Rp 1.710 triliun. Per Januari 2015 utang luar negeri pemerintah mencapai USD 129,7 miliar atau setara dengan Rp 1.710 triliun. Angka utang pemerintah ini naik USD 5,9 miliar atau setara dengan Rp 78 triliun jika dibandingkan Desember tahun lalu yang hanya USD 123,8 miliar atau Rp 1.632 triliun. 6. Tidak Menepati Janji atau Ingkar Janji: Pemimpin harus menepati janji. Itu sudah sangat jelas hukumnya. Orang yang tidak menepati janji, dosanya berlipat-lipat.Janji merupakan amanah, bahkan juga perintah Allah SET yang termaktub dalam Al Quran. Janji tidak boleh main-main atau hanya sekedar pencitraan diri. Pada Junuoi 2015 Majelis Ulama Indonesia (MUI)telah mengeluarkan fatwa terkait kedudukan seorang pemimpin yang ingkar janji. Dalam fatwa itu juga disebutkan bahwa boleh tidak mentaati pemimpin yang memerintahkan sesuatu yang dilarang agama. Pemimpin publik yang tidak melaksanakan janji kampanyenya adalah berdosa, dan tidak boleh dipilih kembali.Pemimpin publik yang melanggar sumpah dan/atau tidak melakukan tugas-tugasnya harus dimintai pertanggungjawaban melalui lembag DPR dan diproses sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Masalahnya, hampir semua Janji Kampanye Jokowi tidak ditepati. Jokowi tidak layak menjadi pemimpin apalagi Presiden, karena tidak melaksanakan amanah, kewajiban, melalaikan janji-janji Kampanye. Berdasarkan data dan fakta inkar janji ini,dan mengacu pada falsafah Pancasila dan UUD 1945 dan juga Fatwa MUI tentang Ingkar Janji Pemimpin Publik, Jokowi sangat tidak layak menjadi Presiden Republik Indonesia. V. KINERJA JOKOWI-JK DI MATA PUBLIK: Seiring dengan kondisi sosial ekonomi dan politik Indonesia mengalami kemerosotan dan penurunan, juga kualitas kinerja Jokowi-Jk di mata publik mengalami kemerosotan dan penurunan. Beberapa hasil survei tentang kinerja Jokowi-JK dapat dilihat di bawah ini. Pertama, pada April 2015 Lembaga jajak pendapat Poltracking merilis hasil survey terbaru mereka tentang kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah. Poltracking menyebut, sebanyak 48,5 persen narasumber mereka menyatakan tidak puas pada hasil kerja sementara Kabinet Kerja. Angka ketidakpuasan tersebut lebih rendah dibandingkan presentase narasumber yang menyatakan puas terhadap pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla, yakni 44 persen. Direktur Eksekutif Poltracking Hanta Yudha mengatakan tingkat kepuasan masyarakat terhadap Kabinet Kerja ini merupakan yang terendah dalam enam bulan terakhir. "Kalau kami tracking, ini yang terendah. Survey-survey sebelumnya, kepuasan pada pemerintah belum ada yang di bawah 50 persen," ujarnya di Hotel Sofyan, Jakarta, Minggu (19/4).Hanta mengemukakan, berdasarkan jajak pendapat terhadap 1200 responden itu, kekecewaan masyarakat paling besar merujuk pada kinerja pemerintah di bidang ekonomi, yakni sebanyak 52,2 responden. Hanta berkata, hal ini setidaknya disebabkan tiga hal, yaitu instabilitas dan fluktuatifnya harga bahan pokok, kenaikan harga bahan bakar minyak serta daya beli masyarakat yang menurun akibat tidak meningkatnya penghasilan mereka. Terkait penghasilan, Poltracking juga memotret kecenderungan masyarakat yang tidak mengalami mendapatkan kenaikan penghasilan sejak setahun lalu. Dalam data survey itu terlihat, sebanyak 55 persen responden mengaku penghasilan rumah tangga mereka tidak berbeda dengan tahun lalu. Bahkan, mayoritas dari mereka juga pesimis pengasilan rumah tangga mereka sama melonjak tahun depan. Tidak hanya ekonomi, Poltracking juga mencatat ketidakpuasan masyarakat pada pemerintah di dua bidang lain, yaitu keamanan serta hukum dan pemberantasan korupsi. Kedua, hasil survei berikutnya disajikan di dalam Merdeka.com (22 Juni 2015) - Indeks kepercayaan masyarakat atas pemerintahan Jokowi- Jusuf Kalla mengalami penurunan drastis. Berdasarkan survei Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI) sebanyak 58,8 persen responden menyatakan ketidakpuasan dengan kinerja pemerintah hari ini. Kemudian 30,8 persen menyatakan cukup puas, sedangkan 8 persen responden menyatakan ketidakpuasannya sama sekali. Untuk responden yang puas hanya mencapai 1,6 persen. Survei dilakukan pada 26 Mei sampai 3 Juni 2015 dengan 250 responden di wilayah Jalan Sudirman, Thamrin dan Kuningan. Jakarta. Menurut Hendri Satrio dari KedaiKOPI, mereka berasal dari pebisnis setara asisten manager dengan gaji minimal Rp 5 juta. "Mereka yang berasal dari orang kelas menengah menunjukkan ketidakpuasannya terutama dari kebijakan ekonomi pemerintah," kata Hendri. Adapun sebabnya menurut Hendri karena berbagai berbagai kebijakan strategis pemerintah yang tak berpihak kepada publik. Dia mengatakan, warga banyak tertekan dengan naiknya kebutuhan pokok dan biaya hidup. "Mereka menilai beberapa kebijakan strategis justru menekan warga Jakarta. Seperti harga BBM naik, impor beras, kenaikan tarif dasar listrik, kenaikan harga gas, menggejot penerimaan pajak, posisi tim sukses di BUMN dan menambah utang," ungkap Satrio. Penilaian kelompok pro demokrasi juga menunjukkan negatif terhadap Jokowi-JK sehubungan dengan perlindungan WNI di luar negeri. Pada April 2015 Pemerintah Arab Saudi telah mengeksekusi dua WNI secara beruntun, yakni Siti Zaenab dan Karni Bt Medi Tarsim. Proses eksekusi mati terhadap Karni Bt Medi Tarsim telah terdengar kabarnya sejak Rabu, 15 April 2015. Sejumlah organisasi penggiat HAM yang tergabung dalam Koalisi Anti Hukuman Mati menilai pemerintahan Jokowi-JK gagal menlindungi WNI di luar negeri. Koalisi terdiri dari ICJR, Elsam, Imparsial, HRWG, LBH Masyarakat, Ikohi dan Setara Institute memandang Jokowi-JK tidak bisa menjalankan Amanat UUD 1945. Padahal, perintah Pembukaan UUD 1945 dalam Alinea ke 4 sangat jelas, yakni "Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia". "Eksekusi mati Siti Zaenab dan Karni Bt Medi Tarsim merupakan kegagalan pemerintahan Jokowi-JK untuk menjalankan amanat UUD 1945 agar melindungi segenap warga Negara Indonesia," ujar peneliti ICJR Erasmus Napitupulu di Jakarta, Jumat (17/4/2015). Ketiga, REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA, 9 Juli 2015, melaporkan hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) bahwa masyarakat Indonesia tidak puas dengan kinerja Presiden Jokowi, selama hampir sembilan bulan memerintah. Secara umum sebesar 56 persen masyarakat merasa kurang atau tidak puas dengan kinerja Presiden Jokowi, sementara 41 persen sisanya merasa puas. BAgi SMRC, pemerintah harus sadar bahwa masyarakat terlihat cenderung tidak puas dengan kinerja pemerintahan Jokowi. Di bidang ekonomi, sekitar 31,5 persen warga menyatakan kondisi ekonomi sekarang lebih buruk daripada tahun lalu, sementara yang menyatakan lebih baik hanya 24 persen. Untuk bidang politik, hasil survei menunjukkan 37,5 persen warga menganggap kondisi politik Indonesia buruk sementara yang menyatakan baik hanya 21,6 persen. Sedangkan, dalam hal hukum, 38 persen warga menyatakan kondisi hukum Indonesia buruk sementara yang menyatakan baik hanya 32 persen. Jika dibandingkan dengan pemerintahan SBY, citra Jokowi saat ini jauh tertinggal. Bila saat ini hanya 40,7 persen warga yang menyatakan puas dengan kinerja Jokowi, dalam periode yang sama, lima tahun lalu, terdapat 70 persen warga menyatakan puas dengan kinerja SBY. Survei dilakukan pada 25 Mei hingga 2 Juni 2015 tersebut menggunakan 1.220 responden, merupakan warga negara Indonesia punya hak pilih dalam Pemilu, yakni mereka sudah berumur 17 tahun atau lebih, atau sudah menikah ketika survei dilakukan. Hasil survei menunjukkan bahwa rakyat menginginkan agar kinerja pemerintah Jokowi diperbaiki secepatnya, namun dengan tetap menjaga proses politik secara konstitusional. Namun, Jokowi harus mencegah kondisi nasional terus memburuk, terutama di bidang ekonomi, agar masyarakat tidak menjadi anarkis dan meruntuhkan demokrasi. Keempat, dalam hal kinerja ekonomi Jokowi-Jk, Litbang Kompas pada 25 Juni hingga 7 Juli 2015 melakukan survey tingkat kepuasan publik. Hasil survey menunjukkan,kKepuasan publik hanya mencapai 44,2 persen. Angka ini masih lebih rendah dibandingkan dengan masa tiga bulan Jokowi-Jk berkuasa di Republik ini, yakni 49,6 persen (Kompas, 29 Juli 2015). Tantangan kemerosotan ekonomi sejak awal tahun 2015 ternyata belum bisa berhasil diatasi oleh Rezim Jokowi-Jk. Ketidakpuasan publik terhadap kinerja pemerintah di bidang ekonomi masih mendominasi. Kepuasan terhadap kinerja Jokowi-JK bidang ekonomi dengan indikator "mengendalikan harga barang dan jasa" hanya mencapai 32, 1 persen; "menyediakan lapangan kerja" lebih rendah hingga 31,1 persen; "memeratakan pembangunan" mencapai 50,3 persen; "mengembangkan pasar tradisional" mencapai 69,9 persen; "mewujudkan swasembada pangan" sebesar 53,1 persen; :"memberdayakan petani dan nelayan" mencapai 51,5 persen; dan "mengendalikan nilai tukar rupiah" paling rendah yakni 21,4 persen. Jika digunakan indikator " mengendalikan harga barang dan jasa" (32,1 persen) dan "menyediakan lapangan kerja" (31,1 persen), maka dapat disimpulkan bahwa kinerja Jokowi-Jk dalam hal kebutuhan dasar rakyat tergolong buruk dan jelek, jika tidak boleh dinilai sangat butruk dan sangat jelek. Sorotan tajam publik terdapat pada tiga issue yakni pengendalian barang dan jasa, pengendalian nilai tukar rupiah, serta penyediaan lapangan kerja. Di ketiga issue tersebut rata-rata proporsi hanya 21,4 persen. Issue-issue inilah menjadi ketidakpuasan publik di bidang ekonomi. Kelima, penilaian para pengamat/ilmuwan/cendikiawan/tokoh politik, antara lain Ekonom senior, Kwik Kian Gie. Melalui media massa dan sosial, Kita dapat menemukan penilaian Kwik Kian Gie tentang kabinet pemerintahan Jokowi yang sesungguhnya "tidak layak" disebut Kabinet Kerja. Namun, lebih tepat disebut Kabinet Saudagar. Karena faktanya, menurut Kwik, dalam mengelola kebutuhan hajat hidup orang banyak, pemerintah selalu saja mencari untung. “Sekarang pemerintah ambil untung dari transaksi impor bahan bakar minyak dan LPG. Setelah itu menyusul impor pangan dan pemerintah juga cari untung dengan cara manarik pajak impor. Itu kan Kabinet Saudagar namanya,” kata Kwik Kian Gie, di press room DPR, Senayan Jakarta, Selasa (31/3). Terjebaknya pemerintahan Jokowi jadi Kabinet saudagar menurut mantan Kepala Litbang DPP PDIP ini, disebabkan karena di belakang Jokowi-Jusuf Kalla ada sekelompok pengusaha yang dari awal memback-up Jokowi-JK saat kampanye pilpres 2014 lalu. “Jauh sebelum Jokowi-JK jadi presiden dan wapres, masa-masa kampanye pasangan ini jelas-jelas didukung oleh sembilan Taipan. Informasi tersebut tersebar demikian luasnya,” ungkap Kwik. Targetnya lanjut Kwik, jika Jokowi-JK menang, maka presiden bisa didikte oleh sembilan Taipan tadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar